Pengertian perjanjian internasional
1. Oppenheim -Lauterpacht
Perjanjian
Internasional adalah suatu persetujuan antar Negara yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara pihak yang mengadakannya
2. Mochtar Kusuma
Atmadja
Perjanjian
Internasional adalah perjanjian yang diadakan masyarakat bangsa-bangsa yang
bertujuan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu
3. Konvensi Wina 1969
Perjanjian
Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang
bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
Dari
beberapa pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa perjanjian internasional
akan menimbulkan akibat hukum yang harus dipenuhi oleh masing-masing Negara
agar tujuan diadakannya perjanjian internasional dapat dicapai dengan baik.
Perjanjian
Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) segi, yaitu:
1. Perjanjian Internasional ditinjau dari
jumlah pesertanya
Secara
garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional
dibagi lagi ke dalam:
a. Perjanjian Internasional Bilateral,
a. Perjanjian Internasional Bilateral,
yaitu
Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di
dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau
organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian
bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty),
artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap
semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk
sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai
hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi
kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan
yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa
masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian Internasional Multilateral,
b. Perjanjian Internasional Multilateral,
yaitu
Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak- pihak yang terikat di dalam perjanjian itu
lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang
dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang
bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak
perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak
yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi
sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan
perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya
semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki
corak terbuka.
2. Perjanjian Internasional ditinjau dari
kaidah hukum yang dilahirkannya
Penggolongan Perjanjian
Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
a. Treaty Contract.
a. Treaty Contract.
Sebagai
perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya
melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku
antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk
perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral.
b. Law Making Treaty.
Sebagai
perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang
ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh
subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses
pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau
dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja
berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara
aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat
merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya.
3.
Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Perjanjian
Internasional yang melalui dua tahap.
Perjanjian melalui dua tahap
ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut pelaksanaannya sesegera
mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan
(negotiation) dan tahap penandatanganan (signature).
b. Perjanjian
Internsional yang melalui tiga tahap.
Pada
Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian
Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses
pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah
merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya
berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai
kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah
dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian.
4. Perjanjian Internasional ditinjau dari
jangka waktu berlakunya
Pembedaan
atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara
mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa
Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam
hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit
menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan
sifat, maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu
dimaksudkan untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya,
jika objek yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana
mestinya, maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya.
Istilah-istilah Perjanjian Internasional
1. Traktat (treaty), perjanjian
paling formal yang merupakan persetujuan dari dua Negara atau lebih. Perjanjian
ini khusus mencakup bidang politik dan ekonomi.
2. Konvensi (convention), persetujuan
formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijakan tingkat
tinggi (high policy).
3. Protokol (protocol), persetujuan
yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala Negara. Biasanya
protocol mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausal-kalusal
tertentu.
4. Persetujuan (agreement), perjanjian
yang bersifat teknis atau administrative. Persetujuan ini tidak perlu
ratifikasi karena tidak seresmi traktat atau konvensi.
5. Charter, istilah yang
dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan
fungsi administrative. Misalnya Atlantic Charter 1941 yang mengilhami
berdirinya PBB.
6. Pakta (pact), istilah yang
menunjukkan suatu perjanjian yang lebih khusus. Misalnya Pakta pertahanan NATO,
SEATO.
7. Piagam (statute), himpunan
peraturan yang ditetapkan oleh peraetujuan internasional.
8. Deklarasi (declaration), perjanjian
internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai
traktat jika menerangkan suatu judul dari batang tubuh ketentuan traktat, dan
sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada traktat atau
konvensi.
Tahap-tahap Perjanjian Internasional
Dalam konvensi wina 1969 tentang perjanjian
internasional, ada tiga tahap dalam pembuatan perjanjian internasional, yaitu:
1. Perundingan
(Negotiation)
Tahap
ini merupakan langkah awal bagi negara-negara untuk menentukan objek
perjanjian. Pada tahap perundingan ini akan dibicarakan mengenai hak dan
kewajiban yang harus dilakukan setelah disepakati dalam perjanjian, termasuk
keuntungan dan kerugian serta mekanisme pelaksanaan perjanjian.
Perundingan
yang dialakukan dalam perjanjian bilateral disebut dengan “talk”. Sedangkan
dalam perjanjian multilateral disebut dengan “diplomatic conference”.
2. Penandatanganan
(Signature)
Tahap
ini merupakan tahapan yang penting karena menjadi bukti nyata suatu Negara
mengikat atau tidak dalam perjanjian. Penandatanganan dapat dilakukan oleh
kepala pemerintahan ataupun oleh menteri luar negeri.
3. Pengesahan
(Ratification)
Pengesahan
atau ratification merupakan cara yang sudah melembaga dalam pembuatan
perjanjian internasional. Ratifikasi bertujuan memberikan kesempatan kepada
Negara-negara guna mengadakan peninjauan serta pengamatan apakah negaranya
dapat diikat oleh perjanjian itu atau tidak. Selain itu. dengan adanya
ratifikasi akan menumbuhkan keyakinan pada lembaga perwakilan rakyat bahwa yang
menandatangani isi perjanjian tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
kepentingan rakyat.
Dasar
hukum adanya ratifikasi diatur dalam:
1. Pasal 11
konvensi Wina 1969
2. Pasal 43 sub 3
piagam PBB
3. Pasal 120
konstitusi ILO
Dalam
perundang-undangan Negara Indonesia, ratifikasi diatur dalam pasal 11 UUD 1945,
ayat:
1)
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain
2) Presiden
dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasarkan bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Ada
tiga system ratifikasi yang dikenal didunia:
1.
Sistem ratifikasi oleh Eksekutif. Digunakan oleh Negara yang menggunakan system
pemerintahan otoriter/ dictator.
2.
Sistem ratifikasi oleh legislative. Digunakan di Negara Honduras, Turki dan
Elsavador
3.
Sistem ratifikasi campuran (Eksekutif dan Legislatif). Digunakan oleh Negara
Indonesia, Amerika, Perancis.
Beberapa hal penting dalam Perjanjian
Internasional
1. Penggolongan
Perjanjian internasional, ada 2:
a. Menurut bentuk/
jumlah peserta perjanjian internasional, yaitu:
i) Bilateral : perjanjian
yang dilakukan oleh dua Negara, contoh: perjanjian ekstradisi
ii) Multilateral : perjanjian
yang dilakukan lebih dari 2 negara, contoh: konvensi hukum laut internasional
tahun 1982.
b. Menurut daya ikat/ ungsi/
sifatnya, yaitu:
i) Law making teaty :
perjanjian yang meletakkan kaidah/ norma umum bagi masyarakat internasional
secara keseluruhan dan bersifat multilateral dan terbuka, contoh :
konvensi hukum laut internasional tahun 1982
ii) Treaty contract : Perjanjian
yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi Negara-negara yang mengadakan
perjanjian saja, contoh : Perjanjian RI-Cina tentang kewarganegaraan.
2.
Keikutsertaan dalam perjanjian internasional
Persetujuan untuk mengikatkan diri dalam
perjanjian internasional dapat dialkukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Accession :
mengikuti keseluruhan isi perjanjian
b. Adhession :
mengikuti ketentuan tertentu saja karena alasan untuk kepentingan nasional
dengan mengajukan persyaratan
c. Acceptence :
menerima dari suatu penandatanganan ratifikasi
Ada dua teori mengenai
persyaratan dalam perjanjian internasional:
a. Teori
Kebulatan Suara (Unanimity
Principle). Persyaratan itu hanya sah atau berlaku bagi yang
mengajukan persyaratan jika persyaratan ini diterima oleh seluruh peserta dari
perjanjian. Contoh: PBB dalam mengeluarkan resolusi atau menerima anggota baru,
memerlukan kebulatan suara dari seluruh anggota
b. Teori Pan Amerika.
Setiap perjanjian itu mengikat negara yang mengajukan persyaratan dengan negara
yang menerima persyaratan. Teori ini biasanya dianut oleh organisasi-organisasi
negara Amerika. Contoh: NATO, setiap anggota diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam perjanjian yang dibentuk tersebut.
3.
Berlaku dan berakhirnya perjanjian internasional
Perjanjian internasional berlaku ketika:
c. Mulai berlaku
sejak tanggal ditentukan/ persetujuan Negara peserta
d. Mulai berlaku
segera setelah persetujuan diikat dan dinyatakan peserta perjanjian
e. Bila
persetujuan suatu Negara untuk terikat setelah perjanjian berlaku maka mulai
berlaku sejak tanggal tersebut kecuali ditentukan lain
f. Berlaku sejak
disetujuinya teks perjanjian
Perjanjian
internasional berakhir
jika:
a. Telah
tercapai tujuannya
b. Habis
masa berlakunya
c. Salah
satu Negara punah
d.
Persetujuan peserta untuk mengakhiri perjanjian
e. Adanya
perjanjian baru yang isinya meniadakan perjanjian terdahulu
f.
Pembatalan sepihak/ pengunduran diri (denunciation)
g.
Perubahan yang mendasar terhadap keadaan saat pembuatan perjanjian (Rebus Sic Stantibus)
4.
Pembatalan perjanjian internasional
Perjanjian internasional
dapat batal jika:
a. Negara
peserta/ wakil kuasa usaha melanggar ketentuan hukum negaranya
b. Unsur
kesalahan yang berhubungan dengan fakta/ kenyataan saat pembuatan perjanjian
c. Adanya
unsur penipuan, kecurangan, dan penipuan
d. Adanya
unsur paksaan
e. Bertentangan
dengan kaidah dasar hukum internasional (asas Just cogens)
5.
Asas dalam Perjanjian Internasional
Untuk menjaga kelangsungan
perjanjian internasional, maka setiap Negara harus mematuhi asas-asas umum,
diantaranya:
a. Asas
Pacta sun servanda : Janji mengikat dan harus dilaksanakan dengan itikad baik
b. Asas
Reciprocitas : Tidakan suatu Negara (positif/negatif) akan terbalas setimpal
c. Asas
Courtecy : Saling menghargai dan menghormati kedaulatan Negara lain
d. Egality
rights : Setiap Negara memiliki kedudukan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar